Kesempatan Kedua

Akhirnya saya berkesempatan untuk berbagi pengalaman, akan apa yang baru saja saya lewati dalam kehidupan saya. Bukan, ini bukan drama, meminta simpati, atau pamer, atau apapun. Ini lebih kepada pengucapan syukur, dan mencoba membagikan apa yang bisa dan baiknya saya bagikan kepada seluruh teman, keluarga dan siapapun yang membaca tulisan ini.

16 November 2017, pukul 01.00 dini hari. Saya berusaha untuk tidur lebih awal (ya, 01.00 itu cukup awal untuk saya), dan saya menyusul masuk ke kamar tidur. Yang terjadi berikutnya adalah sebuah pengalaman yang belum pernah saya alami sebelumnya. Saat mulai berbaring, tiba-tiba saya merasakan seperti ada cairan panas yang naik dari dalam perut sampai ke leher. Sebelumnya saya pernah mengalami hal yang mirip, dan saya anggap itu adalah asam lambung yang naik. Segera saya bangun dan menuju tempat obat dan mengambil antasida cair dan segera meminumnya. Namun kali ini berbeda. Rasa panas itu tak kunjung hilang, dan kini bertambah dengan kesulitan bernafas. Sebanyak-banyaknya nafas yang saya coba ambil, ternyata tidak ada pengaruhnya, seperti tidak ada yang masuk. Lalu saya mulai merasakan hal yang lain. Kedua tangan saya seperti pegal sekali, berat, cenderung seperti ngilu. Semua ini ber-eskalasi sampai dengan fokus yang semakin berkurang. Dan herannya, saya kemudian seperti tahu bahwa ini bukan sakit biasa, namun tidak lain dan tidak bukan adalah serangan jantung. Saya tidak tahu benar atau tidak, karena selama ini hanya mendapat pengetahuan mengenai gejala serangan jantung dari membaca artikel-artikel kesehatan. Dan yang saya bisa lakukan saat itu hanyalah menebak, mengingat apa yang harus dilakukan menurut artikel-artikel tersebut bila mengalami serangan jantung atau gejalanya. Saya tetap berusaha mengambil nafas panjang, sesulit apapun itu dan mencoba batuk sekerasnya. Dan, entah ide dari mana, saya berdoa bila memang ini waktunya untuk saya menyelesaikan perjalanan hidup, saya memohon kelancaran segala sesuatunya, dan berdoa agar istri saya dapat segera melanjutkan kehidupan dengan lebih baik. Lalu, saya mencoba segera kembali ke kamar tidur untuk membangunkan istri saya. Hari itu kami memang sehabis bekerja sepanjang hari dan cukup kelelahan. Adalah sangat wajar bila istri saya tidak bisa langsung terbangun, karena mungkin sudah mulai nyenyak. Akhirnya saya mencoba merebahkan dan menenangkan diri. Sekitar jam 02.00, saya kembali membangunkan istri saya untuk memintanya melihat kondisi dan penampakan fisik saya. Menurutnya hampir tidak ada yang aneh. Akhirnya saya minta agar punggung digosok dengan minyak angin. Namun, kira-kira pukul 03.30 saya akhirnya meminta diantarkan ke rumah sakit, karena saya sungguh hampir tidak bisa bernafas.

Sepanjang perjalanan dari rumah kami di Legok Indah menuju Eka Hospital di BSD yang kurang lebih kami tempuh dalam waktu 20 menit, sakit dan ketidaknyamanan justru mereda. Saya semakin bisa mengatur nafas. Namun, tetap sulit dan bukan berarti hilang sama sekali. Dan akhirnya kami pun tiba di Eka Hospital. Kami langsung ke UGD dan saya menjelaskan semua yang saya rasakan kepada dokter jaga. Dan tindakan serta diagnosa awal ternyata sama, mengarah ke serangan jantung. EKG mengindikasikan adanya penyumbatan. Obat jantung yang diberikan di bawah lidah pun saya terima, berikut 4 obat lainnya sekaligus. Dokter jaga berkonsultasi dengan dokter jantung, dan mereka memutuskan perlu tindakan kateterisasi dan/ pasang ring. Seperti berita yang sangat menggelegar, kami mendengar penjelasan dokter, namun tetap pasrah, sambil berkonsultasi dengan teman kami yang juga seorang dokter via pesan singkat untuk pendapat lain. Keputusan akhir, kami menerima dan menyetujui tindakan tersebut. Berhubung kami adalah pasien BPJS Jakarta Barat, maka saya segera dirujuk ke RS Harapan Kita. Prosedur demi prosedur dijalankan, hingga akhirnya saya diberangkatkan dengan ambulans lengkap dengan segala peralatan yang tertempel di badam untuk mengawasi kondisi saya, yang memang saat itu sangat tidak stabil dan saya nyaris tidak sanggup melakukan gerakan besar apapun, kecuali pindah kasur. Dalam kondisi macet, jam 06.30 pagi, menempuh rute BSD-RS. Harapan Kita, kami berangkat.

Puji Tuhan, dengan segala berkat dan kemudahan, segala proses berjalan dengan sangat baik dan lancar. Setibanya saya di RS. Harapan Kita, hanya membutuhkan waktu yang sangat singkat untuk kemudian tindakan kateterisasi dan/ pemasangan ring dilakukan. Selama proses berjalan, saya dalam keadaan sadar karena hanya dibius lokal. Untuk yang belum tahu (dan saya pun baru tahu saat mengalami), proses kateterisasi jantung dan angioplasty itu tidaj seperti bedah, namun dengan cara memasukkan alat melalui pembuluh darah lewat pangkal paha atau tangan kanan. Dalam kasus saya, yang dipilih adalah tangan kanan. Walaupun mendapat bius lokal, masih terasa sedikit rasa aneh saat ada barang seperti kawat masuk melalui dan menyusuri tangan kanan menuju dada. Dan semua juga terlihat seperti x-ray video, dan saya pun menyaksikan semuanya. Saya yang termasuk orang yang paling tidak tahan diam, berulangkali diingatkan untuk jangan banyak bergerak oleh para dokter. Maklum, saya sangat amat tidak betah berdiam diri untuk waktu yang cukup panjang. Untungnya dalam waktu kurang lebih 1 jam seluruh proses selesai. Seluruh dokter menyatakan semua berjalan dengan baik. Sayapun mengucapkan terima kasih kepada mereka semua, seiring tempat tidur saya dibawa keluar ruangan bedah menuju IGD karena ICU penuh.

Apa yang saya rasakan setelah keluar dari ruang operasi? Lemas, tapi bisa bernafas lega, walaupun sesekali harus menarik nafas panjang. Tangan kanan hingga bahu pegal luar biasa, dan ini berlangsung hingga nanti saya pulang dari rumah sakit. Saya banyak tidur, terlebih karena memang tidak diizinkan untuk ditemani siapapun kecuali perawat, dan hanya bisa ditengok sesekali oleh keluarga yang memang terdaftar sebagai yang berjaga. Setelah kurang lebih 24 jam di IGD, saya dipindahkan ke ruangan Intermediate Medical Ward, satu level lebih rendah dari ICU walalupun masih lengkap dengan melekatnyta seluruh peralatan pada badan saya. Berangsur-angsur kondisi saya semakin segar, baik dan semakin normal dalam bergerak dan lainnya. Bahkan, lewat dari 24 jam sudah tidak ada lagi selang dan kabel yang diperlukan, dan saya dipersilahkan berlatih berjalan perlahan menyusuri beberapa ruangan, mandi sendiri, dan mulai seperti layaknya orang sehat lainnya. Dan setelah menyelesaikan 6 suntikan setiap 12 jam untuk pengencer darah lewat perut, akhirnya saya diperbolehkan pulang tanggal 19 November 2017.

Setelah istirahat total selama 3 hari, saya mulai perlahan-lahan kembali melakukan aktivitas seperti biasa, sekaligus mengejar beberapa pekrjaan yang tertinggal. Dan keluhan yang tersisa memang saya belum bisa sepenuhnya aktif, karena bila dipaksakan, masih ada rasa ‘cubitan-cubitan’ kecil di dada dan sesekali terengah-engah dalam bernafas. Namun tidak sering.

Fase berikutnya adalah saya diberkati dengan hadiah luar biasa untuk dapat mencoba pengobatan alternatif Jero Mangku di Bali, langkap dengan tiket dan akomodasinya yang amat sangat luar biasa. Dan aura, energi beliau memang luar biasa menenangkan. Terlepas dari apapun kepercayaan anda, saya yakin dan percaya Tuhan dan Semesta bekerja melalui siapa saja, tanpa terkecuali. Dan tidak pernah ada salahnya menurut saya untuk mencoba penyembuhan dengan cara ini, karena tidak mengganggu pengobatan medis sama sekali. Sepulangnya saya dari Bali, saya merasa lebih baik lagi. Belum total, namun banyak kemajuan. Dan saya diminta untuk sekali lagi berobat dengan beliau.

Itulah yang terjadi dalam kehidupan saya. Sungguh fase yang luar biasa, tahun yang amat dinamis, dan amat sangat tidak terduga. Semoga pengalaman saya ini bisa membantu semua yang membaca, agar semakin bertambah wawasannya mengenai gejala, penyakit, dan pemulihan jantung.

Kesempatan kedua, yang sesungguh-sungguhnya, saya dapatkan, dan saya berterimakasih kepada Tuhan Semesta Alam dan seluruh orang yang secara langsung maupun tidak telah menyentuh saya lewat bantuan dan uluran tangannya. Tuhan memberkati anda semua.

Pembuktian Istilah Less is More

Pembuktian Istilah ‘LESS IS MORE’

8 November 2014, Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia West Mall lt. 8, sebuah tempat yang difasilitasi oleh Djarum Foundation untuk para pekerja seni Indonesia dalam menyalurkan serta membangun ‘rasa’ dan ‘selera’ seni yang maju telah menjadi saksi sebuah kejadian unik. Satu piano, satu pianis, 4 pelantun suara bercakap-cakap dalam nada dan irama dengan begitu luwesnya. Alunan Untuk Pejuang, begitu mereka menempatkan tajuk perhelatan tersebut. Adalah Dian HP, sang pianis, komposer, penggubah yang bertanggungjawab penuh akan kejadian ini, dan didukung oleh Chandra Satria, Christine Tambunan, Gabriel Harvianto dan Sita Nursanti yang menjadi narator bernada.

Apa yang terlihat? Panggung begitu sepi, tanpa atribut berlebihan, tanpa alat musik yang memenuhi ruangan kecuali sebuah piano putih cantik yang dengan anggun menanti jemari Dian HP untuk segera memainkan ‘bebilah’-nya. Siapa yang terdengar? Hanya dentingan piano mengiringi empat pelantun suara yang sudah diyakini memiliki tempat khusus dalam bidang seni suara di tanah Indonesia ini, meskipun tanpa harus melulu menjadi santapan media yang terkadang melumat pekerja seni lalu memuntahkannya kembali dengan bumbu-bumbu yang tidak penting. Apa yang diceritakan? Adalah untaian nada yang pernah disumbangkan oleh para pejuang seni, begitu Dian HP menyebut mereka, dari era tahun 1970 sampai tahun 2000-an. Sebut saja sang legenda Ismail Marzuki, Janer Sinaga, Gombloh, sampai Harry Roesli, Yovie Widiyanto dan lainnya. Pengaturan nada yang awalnya sudah sangat apik dibuat oleh para komponis tersebut, diberikan semerbak harum gubahan baru oleh Dian HP dengan wewangian yang sangat menyengat dan kental dengan gaya Dian HP namun dengan sangat halus merasuki penciuman seni para penonton yang hadir pada saat itu. Dan ditutup-bungkus dengan suara-suara indah Chandra, Christine, Gabriel dan Sita yang membuat penonton terbius dan seolah terbawa ke zaman dimana lagu-lagu tersebut diciptakan, untuk kembali mengingat bagaimana nada-nada ini menjadi salah satu sumber motivasi para pejuang yang pergi ke medan perang.

Kisah percintaan Sepasang Mata Bola; keintiman anak dan ibunda dalam Selamat Tinggal, Ibunda; keperkasaan nasionalisme dalam Medley BENDERA, adalah sebagian kecil dari apa yang disuguhkan oleh 5 pejuang seni tahun 2014 ini.

Yang menarik adalah, dalam musik, selalu penting untuk diingat akan sebuah istilah yaitu ‘Less is More’, ‘yang sedikit itu justru berlebih’. Dengan pengaturan segala musik yang sangat sederhana, harmonisasi vokal yang tidak bergelimang kemewahan notasi sulit, kejadian Alunan Untuk Pejuang ini justru sungguh-sungguh mengingatkan para pekerja seni untuk kembali kepada masa dimana seniman tidak memiliki banyak sarana maupun prasarana yang memudahkan, teknologi yang menggiurkan, dan murni mengandalkan kemampuan serta ‘rasa’. Batapapun penting, signifikan dan membantunya fasilitas dan perkembangan dalam dunia seni sekarang ini, Dian HP dan kawan-kawan menjadi pengingat yang penting akan hal ‘rasa’ dan ‘Less is More’ tersebut.

Dan sebagai kembang pemanis, kelima seniman ini menggunakan kain batik sebagai ikon bangsa Indonesia yang justru naik pamor setelah gunjang ganjing dengan negara sebelah. Tapi, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, khusus untuk hal-hal seperti ini. Pesan moral sederhana yang disampaikan oleh Dian HP, humor-humor ringan yang sesekali mewarnai, melengkapi sebuah pertunjukkan yang nyaris tanpa cela ini dan menjadikannya amat sangat berharga untuk seluruh insan seni, bukan hanya musik, dan seluruh rakyat bangsa Indonesia.

‘Aku sungguh cinta kepadamu, tanah airku, Indonesia’…

Seni adalah urat nadi perjuangan, pembangunan, dan kehidupan bangsa dan negara. Saatnya seni mendapat tempat istimewa dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Salam Seni!IMG_7243

http://www.indonesiakaya.com/galeri-indonesia-kaya/berita/detail/-alunan-untuk-pejuang

Es Krim, Gado-Gado, Emping 19

Pernah mendengar karya dari pionir rap Indonesia Iwa K. berjudul “Es Krim, Gado-Gado, Emping”? Menurut saya judul lagu ini amat sesuai dengan apa yang saya rasakan sekarang perihal Pilkada Jakarta. Bercampur-aduk, tidak karuan, dan sungguh absurd. Begitupun dengan tulisan ini. Sayabisa yakinkan anda yang membacanya bahwa isinya akan sangat campur-aduk. Saya tidak akan mengatakan siapa pilihan saya untuk Pilkada nanti, karena prinsip saya, biarlah hal pribadi tetap menjadi hal yang pribadi, sama halnya dengan agama, kepercayaan dan prinsip, tanpa harus disinggungkan apalagi dibenturkan dengan milik orang lain. Entah kenapa, setelah berpuluh tahun Indonesia secara umum, Jakarta secara khusus sudah berjalan dengan pluralitas yang demikian harmonis, tetiba harus diusik dengan pelbagai isu yang sangat berbahaya untuk kehidupan Indonesia dan Pancasila-nya. Sementara Pilkada yang lain menjadi seperti tidak penting, dan bahkan nyaris tidak terdengar. Jakarta-ku, Jakarta-mu, sedang mengalami proses pendewasaan yang amat sangat sulit dan mahal harganya. Saya tidak berhak untuk mencampuri ajaran agama, itu yang secara teguh saya pegang. Namun, saya juga berhak hidup di Indonesia tercinta ini sesuai dengan apa yang sudah dimaklumkan oleh para pendirinya, bahwa semua warga negara adalah sama dimata hukum. Menurut saya, istilah minoritas-mayoritas ini harus dibumihanguskan, karena sangat menyakitkan. Apa yang salah dengan Pancasila? Apa yang salah dengan sistem hukum Indonesia? Apa yang salah dengan agama seseorang? Apa yang salah dengan sebagai etnis apa seseorang dilahirkan? Apa yang salah dengan ajaran agama yang sifatnya amat sangat pribadi? Apa yang salah dengan hidup bernegara?

 

Siapapun akan membela pilihannya, demikian juga saya. Namun, saya rasa akan jahat dan menyakitkan sekali bila pembelaan tersebut dilakukan dengan cara melibatkan isu etnis dan agama. Untuk kemudian saya sangat bersyukur bahwa saya diajarkan untuk selalu bisa membedakan, mana untuk Tuhan, mana untuk Negara, karena Tuhan bekerja lewat manusia juga, yang tidak selalu memiliki kesamaan dengan saya. Perbedaan itu memang harus ada agar kita bisa saling melengkapi, bukan menjatuhkan dan menyalahkan. Dua sisi mata uang akan selalu bertolak belakang, tapi toh keduanya tidak bisa dipisahkan. Esensi dari Pilkada yang saat ini dilupakan, atau sengaja untuk dibuat lupa, adalah DAMAI. Perdebatan pun pada akhirnya tidak penting, kalau tidak membuahkan perdamaian. Mengapa semua tidak berdiskusi, malahan berdebat? Mengapa semua tidak positif bekerjasama, malahan saling menjatuhkan? Diskusi, bukan debat!

 

Pertempuran di media sosial pun juga membuat saya naik pitam. Dan justru, saya marah bukan kepada penyebar isu, entah itu robot atau manusia, tapi kepada yang terpancing dan malahan membagikan, memberi komentar, dan meladeni. Kenapa terpancing? Kalau saja didiamkan, akan mati dengan sendirinya, kok. Dan ketimbang mengadu urat di dunia maya, mengapa tidak anda menghubungi orang tersebut, ajak minum kopi bersama, dan bicara langsung? Kalau anda melihat artikel yang dibagikan, artinya orang tersebut teman anda, bukan? Berbicara dengan mulut dengannya, bukan menggunakan jari. Dengan demikian isu itu akan menjadi konsumsi anda dan orang tersebut, tanpa harus melibatkan kontribusi umum yang sewaktu-waktu bisa menyalahgunakannya.

 

Ayo berdamai. Siapapun yang menang, Jakarta harus damai. Awasi? Betul. Dukung? Silahkan. Tapi jangan menimbulkan berita atau isu yang menyesatkan, hanya karena keinginan anda tidak terpenuhi. Tuhan tidak tidur. Mungkin sekarang Dia sedang ke Starb*cks minum kopi sebentar. Tapi Dia akan menyelesaikan ini semua dengan cara-Nya. Jangan menginginkan menjadi Dia, membela Dia, karena Dia itu MAHA. Tidak perlu bantuan siapa-siapa, apalagi manusia. Mengapa saya berani berbicara seperti ini? Karena saya diajarkan bahwa Tuhan ada di setiap orang yang saya temui. Kalau saya jahat terhadap orang itu, berarti saya jahat terhadap Tuhan. Hati-hati menghakimi orang lain. Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang layak menjadi suci, apalagi saya.

 

Suatu hari, negara tidak akan memerlukan preman, konspirasi, skenario, bilamana penyelenggarnya jujur dan tidak tergoda.

Ayo damai

Ayo damai

Ayo damai

pribadi untuk pribadi, umum untuk umum.

Diobok-Obok

Diobok-obok airnya diobok-obok… Ada ikannya kecil-kecil pada mabok…

Kurang lebih begitulah isi lirik lagu yang dulu dinyanyikan Joshua, pada zamannya.

Akan tetapi, bukan lagu itu yang ingin saya ketengahkan dalam tulisan ini, melainkan bagaimana Indonesia yang saya cintai ini diobok-obok.

Baru saja saya selesai menyaksikan pidato perpisahan dari Presiden Amerika Serikat Barack Obama secara lengkap. Luar biasa. Terlepas dari segala pro-kontra selama beliau memimpin, saya tetap mencatat beliau sebagai bagian dari sejarah besar politik di Amerika Serikat, sebagai presiden kulit hitam pertama di negara adidaya tersebut. Dan sebagian kecil dari pidato beliau itu menggelitik saya, dimana Obama berpendapat bahwa saat terjadi perdebatan sengit di media sosial, mengapa tidak bertemu langsung saja dan tanyakan serta bahaslah apa yang diperdebatkan itu secara langsung, antara anda dengan pihak yang bersangkutan saja? Hmmm, betul juga. Saat ini rasa-rasanya orang lebih senang berdebat di dunia maya ketimbang bertemu langsung. Padahal, menurut saya, secanggih apapun teknologi dan komunikasi, tidak ada yang dapat mengalahkan komunikasi verbal langsung dengan tatap muka secara fisik. Karena semua intonasi, bahasa tubuh, ekspresi wajah akan dapat terlihat dan dirasakan secara langsung, dan mengurangi kesalahpahaman dengan signifikan.

Dari hal ini, saya terpikir akan suatu hal, yang baru saya sadari. Itu tadi, diobok-obok. Betapa mudahnya rakyat Indonesia ini diobok-obok, diadudomba, dan dihasut. Mari jujur, anda harusnya sudah ‘bersih-bersih’ feed, timeline di akun sosial media anda dari akun-akun teman anda yang menurut anda tidak sepaham, atau radikal, atau menghasut bukan? Jujur, saya pun demikian. Kemudian saya menyadari, MAKA SUKSES LAH UPAYA PEMECAH-BELAH ITU. Yang tadinya berteman baik, menjadi tidak nyaman bertemu baik di media sosial maupun secara langsung. Ya, berhasil! Padahal, perbedaan pendapat itu harusnya mendidik kita untuk bisa menyikapi dengan bijak, lebih sabar, dan pintar memilah, tanpa harus memutuskan tali silaturahmi, online maupun langsung. Bila anda merasa teman anda terlalu radikal, atau menghasut, atau membagikan info yang salah, mungkin ada baiknya anda mengajaknya bertemu langsung dan menjelaskan dengan kalimat verbal dan intonasi yang benar, secara pribadi. Dengan demikian anda (kita) tidak lagi menambah permasalahan dengan komentar yang dibaca publik, kemudian disalahartikan. Mungkin sebagian orang berpendapat, ah, tidak berteman di media sosial itu tidak masalah, kalau saya memutuskan untuk ‘unfriend’. Hmmm, saya kok berpikir lebih dari itu. Saat anda memutuskan untuk ‘unfriend’ di media sosial, pasti ada, walalupun sedikit, perasaan anda sudah tidak nyaman sejalan dengan orang tersebut, bukan? Benih-benih perpecahan itu berawal dari kejadian kecil seperti ini. Maka harusnya semua orang menyikapi bentuk pertemanan, dimanapun dan dalam bentuk apapun, secara lebih terbuka, dan bijak, tentunya. Mari kita lebih membudayakan dialog secara langsung, pribadi dan intim, agar masalah dapat dibahas dengan lebih teliti, antara anda, bukan disebarluaskan melalui komentar-komentar secara publik.

Ah, akan tetapi saya ini hanya orang biasa, awam, yang memiliki pemikiran seperti ini. Belum tentu 100% benar. Yang jelas, saya hanya tidak ingin kita semua menjadi ikan-ikan kecil yang harus mabok karena diobok-obok. Air yang tadinya bening menjadi keruh, tidak perlu!

Indonesia dulu tidak begini dan tidak boleh semakin begini

Indonesia harus sadar bahwa sumber daya yang luar biasa yang dimilikinya menjadi incaran banyak pihak, yang kemudian memutuskan untuk mengobok-obok agar Indonesia lupa akan kekuatannya.

Indonesia pernah damai, harus tetap damai

Indonesia suatu hari akan menjadi negara yang amat kuat dan bahkan adidaya, dengan keberagaman dan sumber daya yang luar biasa

Indonesia ku, Indonesia mu, Indonesia kita semua

Tuhan memberkati Indonesia

Ahok Jangan Jadi Gubernur

IMG_4645.JPGMenurut saya, siapapun yang akan menjadi gubernur DKI, bila ia tidak disukai, maka seluruh warga yang tidak menyukainya hanya akan menunggu kesalahan, kekeliruan, kekhilafan, 1 saja, tidak perlu banyak, untuk kemudian menjadikannya bahan pergunjingan dan penjatuhan, terlepas dari semua yang sudah berhasil dilakukannya untuk warga yang ia cintai. Siapapun, tidak harus Ahok, non muslim, atau minoritas dan etnis tertentu. Akhirnya, yang terjadi adalah celah untuk berbuat kesalahan, atau dosa, atau apapun namanya menjadi semakin terbuka lebar.
Kaidah menjadi pemimpin, dalam hal ini gubernur, tentunya bukan hanya sekedar kinerja yang baik, tapi juga kearifan dan kebijakannya dalam melihat sebab-akibat dari jabatannya.

Saya adalah pendukung Anda, P. Ahok. Tapi saat ini saya rasa Anda mundur saja. Terlalu banyak kebencian yang terjadi. Mari membangun Jakarta dengan cara yang lain. Biarkan mereka membangun dengan caranya. Anda sudah mencoba, dan Anda berhasil, sampai di tahap ini.

Mari, kita berada di luar lingkaran yang mereka inginkan, supaya semua damai kembali.

Ayu Ingin Menangis

Ayu memiliki sebuah prinsip; sesulit apapun hidupnya, hanya dia dan Tuhan sajalah yang boleh tahu. Gestur, penampilan, tutur kata, cara bekerja, semua harus tertata dengan baik agar tidak seorangpun tahu apa yang sedang Ayu rasakan dan alami. Namun entah mengapa, setelah bertahan selama 39 tahun hidupnya, semakin hari semakin besar dorongan untuk Ayu berteriak dan memberi tahu seluruh dunia bahwa keadaannya sangat amat tidak baik. Namun dorongan yang kuat itupun selalu diimbangi dan tertindih oleh pemikiran bahwa selalu ada manusia lain yang lebih susah darinya. Sahabat, keluarga, rekan kerja, pasti ada yang sedang mengalami kesulitan yang jauh lebih hebat. Benarkah, Ayu? 
Banyak sekali kekeliruan dalam mengambil keputusan terjadi dalam kehidupan Ayu. Banyak, tak terhitung. Namun tidak ada satu detik pun dalam hidupnya dimana Ayu tidak berusaha kembali bangkit dan memperbaiki satu per satu kesalahannya. Hanya saja, Ayu bukan siapa-siapa. Kemampuan dan talentanya yang dianggap banyak orang adalah istimewa lambat laun memudar, entah karena Ayu terlalu nyaman membahagiakan serta membuat orang lain berhasil, atau memang Ayu sudah tidak lagi piawai seperti dahulu. Entah,… Rasanya semakin besar usaha Ayu menjadi lebih baik, semakin kuat pula pukulan yang harus diterimanya. Ya, Ayu memang bukan yang paling menderita, namun Ayu berhak untuk merasa sedih.
Ayu ingin menangis, namun didikan dan tempaan yang diterimanya sejak kecil membuatnya tak mengenal air mata. Bahkan saat Ibu lalu Ayahnya meninggal, Ayu harus berusaha menangis, berusaha sekuat tenaga, bahkan hampir-hampir berpura-pura. Ya, sesulit itu. Ayu yang dulu selalu tersenyum tulus melihat sekitarnya bahagia, kini tersenyum getir dan cenderung sedih. Mengapa Ayu tidak bisa seperti mereka? Kembali karena kesalahan-kesalahannya, kah? Apa tidak ada manusia-manusia lain yang membuat kesalahan lebih banyak dari Ayu?
Ayu lelah berpura-pura, tapi Ayu harus. Mengapa? Karena bila ia tidak lagi berpura-pura, maka ia akan menjadi hancur sehancur-hancurnya, tanpa pegangan dan bimbingan yang menguatkan dia. Bukan, Ayu bukan orang yang sangat rohaniah. Jauh dari itu. Ayu mengenal Tuhannya. Ia melayaninya, namun ia membatasi dirinya, entah mengapa, untuk tetap menjadi manusia yang betul-betul manusia. Ayu bertekad untuk selalu memanusiakan manusia. Apakah Ayu murtad? Mungkin. Tapi rasa-rasanya, kelihatannya, Yang Empunya Semesta masih menyayangi Ayu. Hanya saja Ayu tidak memiliki kemampuan dan kepekaan yang cukup untuk tahu rencana-Nya. Ya, Ayu betul-betul hanya manusia.
Jadi, Ayu ingin sekali bisa menangis. Ingin sekali mencurahkan semua isi hati dan kepala, menelanjangi dirinya dari apa yang ia sembunyikan. Tapi Ayu tidak punya siapa-siapa. Dan Ayu tidak mau ucapannya membuat siapapun yang mendengarnya sedih, terlebih merasa terbebani. Tidak, Ayu sangat membenci itu. Ayu sendirian. Ia dulu menikmati kesendirian. Kini, ia tenggelam dalam kesendirian, tanpa kemampuan untuk berenang ke permukaan. Ayu ingin sekali menangis.
Ayu berada di sebuah panggung besar, memerankan perannya sebagai manusia di sebuah pertunjukan bertajuk Sandiwara Bumi. Dan ia adalah seorang pemeran yang ulung. 40 tahun sudah Ayu berhasil menjalankan perannya, nyaris tanpa cacat. Layaknya sebuah panggung, Ayu berkesempatan untuk silam, untuk kemudian kembali berada di panggung. Kesempatan silam tersebut terlihat semakin banyak dan lama. Memberikan Ayu waktu untuk bermain-main dengan jalan pikirannya, berandai-andai, lalu, menyalahkan dirinya. Ya, Ayu tahu semua kesalahan ada padanya. Hanya itu, yang ternyata, justru menyamankan dirinya. Karena bila ia menyalahkan orang atau situasi lain, ia justru semakin merasa hancur, kemudian marah. Jadi, Ayu lebih senang opsi yang sebelumnya. Sambil mendengarkan musik kesukaannya, dan menghisap sebatang rokok ditemani kopi atau teh, Ayu larut dalam kenyamanannya menyalahkan diri sendiri. Nikmat, menurutnya.
Kapan Ayu bisa menangis tersedu-sedu? Kapan Ayu bisa berteriak, kemudian telanjang di panggung Sandiwara Bumi itu? Ayu semakin lelah untuk merasa lelah. Jawaban, waktu, dan kemungkinan yang ada semakin sedikit. Maka, Ayu hanya bisa mengatakan, “Ayu ingin menangis”

Setara

Izinkan saya mengutarakan isi hati, kepala (dan mungkin perut) saya.
Adalah sebuah kebersyukuran luar biasa saat mengetahui 6-7 tahun belakangan dunia drama/teater musikal berkembang dengan baik di Indonesia, Jakarta pada khususnya.
Sebut saja Ali Topan The Musical, Onrop, Gita Cinta The Musical 2010 & 2013, Musikal Laskar Pelangi, Hanoman, Lutung Kasarung, Tresna 1 & 2, Timun Mas, Ariah, Sangkuriang, dan banyak produksi lain yang mungkin hanya untuk kalangan terbatas, namun tidak kalah sulitnya dengan produksi yang diperuntukkan untuk khalayak umum.
Faktanya, (paling tidak yang saya ketahui), produksi ini memang berisikan orang yang ‘kurang waras’ untuk ‘membuang’ sebagian uangnya (atau mungkin seluruhnya) untuk menyukseskan sebuah drama musikal padahal dengan pengetahuan yang cukup akan tingginya kemungkinan tidak akan kembali modal, apalagi mendapat keuntungan. Herannya, masih ada beberapa yang (sepertinya masih) kuat melakukannya lagi.
Apakah drama musikal sudah membudaya di Indonesia? Jawabannya; YA. Wayang Orang Bharata adalah sebuah manifestasi drama musikal yang berasal dari budaya Jawa. Belum lagi mungkin ada akar budaya lain yang memiliki bentuk yang sama.
Lalu, adaptasi drama musikal dari budaya luar yang dipadupadankan dengan budaya lokal, atau cerita baru yang mungkin ringan ataupun berat bobotnya, itupun sudah dilakukan.
Tentunya, semua ini memerlukan biaya. Khusus untuk di Indonesia, saya yakin dan percaya bahwa selalu ada pihak yang rela untuk menjadi investor, atau penyandang dana, atau apapun istilahnya,
Semakin kesini, rasa-rasanya segala sesuatu semakin sulit untuk insan drama musikal, baik penggagas, pelaku, maupun penikmatnya. Investor sepertinya lebih memilih untuk mendatangkan produksi dari luar negeri untuk mendatangkan keuntungan yang lebih.
Keuntungan, ya, tentunya sangat dibutuhkan. Namun, apa betul produksi lokal itu tidak bisa mendatangkan keuntungan? Promo yang luar biasa untuk produksi luar negeri yang didatangkan, sangat berbanding terbalik dengan betapa sulitnya produksi lokal untuk melakukan hal yang sama.
Ya, memang perlu orang-orang yang ‘kurang waras’ ini untuk tetap ada, dengan keyakinan yang tetap tinggi bahwa segala sesuatu itu tetap mungkin.
Saya tidak membenci produksi drama musikal dari luar negeri. Tidak mungkin. Beberapa di antaranya justru menginspirasi kehidupan berseni saya sampai saat ini. Hanya saja ini konteksnya berbeda, dan perlu kesetaraan yang baik yang bisa menyehatkan dunia drama/teater musikal Indonesia, pada umumnya…
Ini bukan keluhan, hanya sebuah pendapat. Bulan juga untuk memancing amarah, sindiran, ‘nyinyir-an’, atau pujian. Sekali lagi, hanya pendapat dan upaya melegakan hati.
Salam seni.

Salam budaya.

Indonesia, bisa.

Mencintai bangsa ini dengan segala yang ada padanya.

Bila, Tetaplah,….

Bila memiliki pendapat dan prinsip berbeda dipandang kafir, tetaplah berusaha mengasihi
Bila ketidakmampuan atau ketidaktahuan dipandang nista, tetaplah berusah mengasihi
Bila penolakan untuk ikut campur atas dasar ketidakpahaman dipandang acuh, tetaplah berusaha mengasihi
Bila keinginan untuk menerima keberagaman dipandang murtad, tetaplah berusah mengasihi
Bila usaha membela kebaikan dan ketulusan dipandang dusta, tetaplah berusaha mengasihi
Bila kesadaran untuk setia akan hal kecil sebelum perkara besar dipandang munafik, tetaplah berusaha mengasihi
Perdamaian dimulai dari diri sendiri, dengan usaha yang sangat kecil dan sederhana, di lingkungan dan orang terdekat, dalam waktu yang sangat singkat, dengan pola yang sangat acak
MULAI!

Enggan

Badanku tak ingin bergerakLeherku enggan menoleh

Mataku sayu, enggan melirik atau melihat

Mulutku kelu, enggan berbicara 

Kakiku kaku, enggan melangkah

Tanganku layu, enggan menggapai

Kepalaku tertunduk, enggan menengadah
Intinya, aku bosan

Sebenarnya, aku mengantuk 

Menunggu

Menunggu
Ada suara langkah kaki

Sandal? Sepatu?
Ada suara sirine

Ambulans? Polisi? Pemadam Kebakaran?
Ada suara percakapan

Gosip? Pekerjaan? Kelakar?
Ada suara klakson

Amarah? Peringatan? Panggilan? Usiran?
Ada suara ‘klik’

Kamera? Ponsel? 
Ada suara raung kendaraan

Motor? Mobil?
Ada suara decitan ban

Kecelakaan? Berusaha cepat?
Ada suara jangkrik

Malam? Tersesat?
Ada suara musik….

Setiap Waktu, Seimbang

Setiap waktu, ada yang sedang berjuangSetiap waktu pula, ada yang sedang mengeluh

Untuk kemudian, ada yang mengeluh karena berjuang
Setiap waktu, ada yang berbuat baik

Setiap waktu, ada yang berbuat tidak baik

Untuk kemudian, ada yang tidak berbuat, dan sangat tidak baik
Setiap waktu, ada yang bahagia

Setiap waktu, ada yang sedih

Untuk kemudian, ada yang sedih bila ada yang bahagia, dan bahagia bila ada yang sedih
Setiap waktu, ada yang terdiam

Setiap waktu, ada yang bicara

Untuk kemudian, ada yang tetap diam saat harus bicara, dan bicara saat harus diam
Setiap waktu, ada yang sakit

Setiap waktu, ada yang sehat

Untuk kemudian, ada yang sembuh dari sakit, dan sakit tanpa sebab
Setiap waktu, ada yang meminta

Setiap waktu, ada yang memberi

Untuk kemudian, ada yang meminjam
Setiap waktu, ada yang cepat

Setiap waktu, ada yang lambat

Untuk kemudian, ada yang terhambat karena cepat dan terlambat karena terhambat
Setiap waktu, berisikan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun

Bila tiba saatnya satu kehabisan waktu, semoga satu itu dikenang, sebagai seseorang, dan seimbang.